Pages - Menu

Friday, April 6, 2012

TERIMAKASIH UNTUK SEGALANYA

“Noor, sudah waktunya pulang. biar aku gantikan jaga malam hari ini” Joko membangunkan ku dari tidur pulas malam itu. tak kusangka waktu terlewat begitu saja.
            “oh, Jok! maaf aku tertidur. tidak ada sesuatu yang gawatkan sewaktu aku tertidur?” tanyaku pada Joko yang sedang menggantungkan jaket tebal berbulunya di dinding pos jaga.
            “nggak ada tuh. tenang  saja. ah... kau kurang sehat, Noor? wajahmu pucat sekali”
            “begitukah? memang sejak pagi aku menggigil kedinginan, rasanya aku baru bangun dari kutub Utara”
            “lah, seperti kau sudah pernah saja ke kutub Utara. sudah pulang saja, kasiankan istrimu. wong baru seminggu nikah kok udah ditinggal-tinggal lembur. gak baik tau!”
            Aku hanya tersenyum mendengar ledekan temanku yang satu ini dari kantor Polres tempatku mengabdi. yah, memang tak bisa disangkal. Aku dengan Wiwid baru saja menikah seminggu yang lalu. Dia wanita yang baik, ramah, sopan dan ayu. Meski hanya berta’aruf dengannya selama 5 jam. Wiwid merasa cocok dengan pribadi ini, begitu pula sebaliknya. ‘Wid, mau makan apa malam ini?’ tanyaku pada diri sendiri, ‘terserah, mas Noor. Wiwid kemana aja mau.’ ahhhh…Wiwid-Wiwid, membayangkan tawamu saja sudah membuat aku gregetan.
            Kebetulan, ada pasar malam. Aku bisa membeli sesuatu untuk Wiwid tercinta. katanya sih Wiwid suka sekali dengan boneka beruang, hingga waktu aku lihat dirumahnya banyak sekali pernak pernik beruang dimana-mana.
---keliling pasar malem---
            Akhirnya sampai dengan selamat di rumah. pagar sudah tertutup. aku tak mau membangunkan Wiwid. Dengan mematikan suara motor, aku mengendap-endap membuka pagar rumah sendiri. ‘Wiwid sayang… bangun dong’ bayangku dalam benak esok pagi, atau lebih tepatnya nanti. ‘ah… lucu.. makasih ya mas. Wiwid suka boneka beruangnya’ sembari membayangkan senyum Wiwid dipagi hari yang mengalahkan indah fajar menyingsing.
            Setelah memasukkan motor ke garasi dengan kunci cadangan yang selalu kutaruh dibawah pot bunga mawar. Aku meraba saku celana dimana kunci pintu rumah tersimpan. Lantas kutaruh sejenak  boneka berunga itu dilantai. namun, setelah memasukan kunci ke pintu, sentak aku terkaget karena pintu tak terkunci. Wiwid pasti lupa mengunci, atau… aku mengendap masuk, perlahan. meski tak ingung kubayangkan apa yang mungkin terjadi ku pegang pentungan yang sejak awal tergantung dicelanaku dengan erat. Semua ruangan gelap, kecuali kamarku. langkah pendek dan pelan aku mendekati pintu yang sedikit terbuka. Dan betapa air mataku mengalir mendengar desahan halus dari mulut Wiwid, juga suara goncangan ranjang kayu yang baru kami pesan berdecit. Emosiku tak tertahan. Ku tendang pintu kamar sekencang-kencangnya.
            “Wiwid!” teriakku pada dua orang yang sedang melakukan hubungan hinadi rumah orang. “bajingan, kau!” kupukul laki-laki itu hingga tersungkur dari ranjang dengan pentungan yang kupegang.
            “jangan, mas!” Wiwid sentak terkaget dan berteriak memelas.
            “istri durhaka!” kuseret Wiwid masuk kekamar mandi dengan keadaan telanjang bulat, dan ku kunci dia dari luar.
            laki-laki itu mulai sadarkan diri, dia berusaha lari dengan telanjang keluar rumah sambil merangkul pakaiannya. namun, dengan sigap aku keluar mengejarnya. melempar tongkat pemukul yang tepat mengenai kepalanya yang hendak memanjat pagar rumah.
            “jangan lari kau!!” kupukul wajahnya berkali-kali yang tergeletak di tanah. hingga wajahnya berlumuran darah, memar di pipi, dan beberapa gigi yang tanggal. Karena emosi memuncak yang membuat ku membabi buta, sekilas terlihatboneka beruang yang aku beli tergeletak di depan pintu. Seakan dia menatap dan berbicara, ‘hentikan mas! darahnya tidak akan mengembalikan apa yang telah terjadi.’. air mataku mengalir tak henti bersama isak tangis yang mengiringi. Aku melemaskan kepalanku.
            “ikut aku! masuk! dan jangan berharap kau bisa lari lagi!” ajak ku kepada lelaki itu. dan ia pun menuruti perintahku tanpa banyak bicara.
            Didalam rumah, kusuruh ia memakai pakaiannya. Dan sesekali mendekatkan telinga ke pintu kamar mandi tempat Wiwid ku kurung. Ia tak bersuara, entah lelah atau pingsan karena shock. hening.
            “nih, alcohol. obati lukamu! ini lapnya.” ku sodorkan alcohol beserta lap tangan yang biasa kugunakan saat P3K. Dia hanya bengong. Melihatku yang tadi sempat marah kini terlihat begitu tenang.
            “kenapa kau bengong?! cepat obati lukamu!” suruhku padanya yang lantas tersentak kemudian mengobati lukanya sendiri.
            Aku mengeluarkan seluruh barang dari saku baju. Korek, rokok, permen dan beberapa uang receh. Ku ambil satu batang kretek, kunyalakan.
            “sudah berapa lama kamu kenal Wiwid?” tanyaku membuka pembicaraan di ruang tamu.
            sejenak dia terdiam, lantas mulai bicara,
            “sejak SMP.” jawab dia menundukan kepala.
            “kenal lama?”
            “kami pacaran sampai Wiwid lulus SMA.”
            “punya kerja?”
            “belum”
“jadi sampai aku dijodohkan dengan Wiwid pun kalian masih pacaran?”
            Dia terdiam cukup lama, dan aku faham betul dengan jawaban klasik seperti ini.
            “hmmm… kau mencintainya?” tanyaku pada lelaki ini.
            Dia terdiam lagi,
            Aku lantas pergi ke kamarku, mengambil Koper besar dan mulai berkemas membereskan pakian dan beberapa barang. Lelaki itu semakin bengong. dan kulihat foto pernikahan kami dimeja rias Wiwid,
            “oh, ya. siapa namamu?”
            “saya? saya  Prasetyo” jawabnya gugup
            “Pras! tolong kau bakar foto ini. dan beberapa foto yang terpasang di dinding.” amanatku padanya sambil membawa koper itu keluar rumah. Lelaki itu memanggilku yang hendak keluar.
            “mas, mau kemana?”
            “pergi, entah tujuanku mau kemana. itu bukan urusanmu.”
            “lantas……” kupotong perkataannya,
            “kalau kau memang mencintainya. jagalah dia, cintai Wiwid. kalian cocok kok. dan jangan sampai aku mendengar kamu menyakiti hati Wiwid. camkan!”pesanku padanya sebelum pergi.
            Lelaki itu terpaku dan menangis. aku lantas pergi melewaati pintu rumah yang baru 3 hari ini aku tinggali. Dan setelah melihat ke pintu rumah, boneka beruang itu masih tergeletak disana. aku melepaskan tas koper dan memeluk boneka beruang itu dengan erat, Lalu membawanya masuk kedalam.
            “satu lagi pesan dariku Pras. berikan boneka ini pada Wiwid. bilang padanya aku tidak marah. dan sampaikan bahwa aku bahagia jika Wiwid bahagia” lantas menyerahkan boneka itu kepada Pras yang semakin ter isak dalam tangisnya. “yo, aku pergi Pras. jaga Wiwid baik-baik.” aku memunggunginya sambil melambaikan tangan meneteskan air mata yang entah keberapa kalinya. ‘selamat tinggal Wid. aku bahagia kok, melihatmu bahagia meski bersama orang lain’
---beberapa hari kemudian---
            Hari ini aku duduk di perempatan jalan, tempat aku sering berjaga memperhatikan lalu lintas. dengan rokok murahan yang kulinting sendiri sambil menikmati asap knalpot yang berhembus kesana kemari.
            “Noor, rokok?” Joko menwarkan sebatang rokok kretek padaku.
            “ndak usah, udah ada kok.”
            Semenjak hari itu, Paginya aku mengundurkan diri dari kapolres dengan alasan memukul warga sipil tanpa sebab karena mabuk. Dan taka da yang tahu kejadian malam itu. Tepat beberapa menit setelah lampu berubah menjadi merah, kulihat Wiwid menaiki sebuah motor bersama Pras. mereka terlihat mesra sekali.
            “lho? Noor, kamu kok nangis? udah gak usah terlalu dipikirkan masalah pemecatanmu”
            “ndak kok. bukan itu. mataku kelilipan”
            “oh, iya.. gimana kabar Wiwid? sehat?”
            “baik. dia baik-baik saja”
            Dan lampu merah itu pun sudah berubah menjadi warna hijau kembali.

karya : Azay

Hal yang saya takuti :

1. Kecoa (karena troma pernah di kencingin)
2. Rumah angker atau rumah hantu sama aja
3. Banci
4. Orang berotot (kalau ditonjok berabe dong)
5. Listrik (sering kesetrum)