Pages - Menu

Tuesday, June 5, 2012

Adegan Heroik LA Indie Movie gua !


Dengan tenang sang kakek duduk diluar rumah sambil menghisap tembakau, sementara didalam rumah si kakek tua renta ada 2perampok sedang asyik mengambil barang yang menurutnya berharga tanpa memperdulikan si kakek, begitupun ia. Cukup dengan barang yang diambilnya 2perampok itu segera berlari keluar rumah dengan tawa ganasnya. Belum sampai pintu keluar, si kakek telah berdiri menghadang. Namun tawa mereka tak terpadamkan dengan sikap si kakek, mereka malah mendorong si kakek hingga terjatuh dan mencoba berlari menjauhi rumah, tapi sebelum mereka berlari jauh sang kakek sudah terbangun lebih dahulu dan menendang mereka dari belakang. Dengan tongkatnya sang kakek menarik baju salah satu perampok hingga posisi tegak berdiri, tanpa basa-basi sang kakek menendang kepala perampok itu sambil memutar badan (hebat juga sang kakek), nampaknya sang kakek belum puas dengan tendangannya meskipun darah dari mulut sang perampok telah menetes. Lompat dan si kakek meninju keras perutnya hingga sang perampok hampir muntah. Terlupakan, perampok yang satunya mencoba untuk kabur dari serangan si kakek. Tak ingin perampok itu lepas dari pandangannya, si kakek pun melemparkan tongkatnya hingga mengenai punggung sang perampok. Perampok itu meringis kesakitan meskipun tidak terjatuh tetapi lumayan untuk menghambat rencana melarikan dirinya, sang kakek berlari. Lompat dan kaki kanannya menjulur kedepan sedangkan kaki kirinya dilipat, terjatuhlah perampok itu oleh tendangan si kakek. Tongkat si kakek tepat berada disebelah kaki kanannya dengan segera ia pun mengambil tongkatnya dan memutar-mutarkan tongkatnya lalu dipukulkannya tongkat itu ke badan si perampok hingga babak belur. Sungguh ironis 2perampok yang terbilang muda kalah oleh seorang kakek tua renta, ironisnya lagi barang curiannya mereka tak dapatkan, yang mereka dapat hanya tendangan dan pukulan dari sang kakek. Jadi, hati-hati dengan orang tua jangan merendahkan, mentang-mentang mereka muda merasa paling kuat. Pepeatah juga bilang tua-tua keladi makin tua makin jadi, hehe.
Beberapa menit setelah insiden itu terjadi ada seorang reporter yang menghampiri sang kakek lalu bertanya seputar kejadian dan tentang asal usul dirinya
“bagaimana kakek bisa selincah itu dan mengalahkan para perampok, padahal kakek ya boleh dibilang sudah tua gitu ?” tanya penasaran
“ya bisa, orang saya guru silat !” jawabnya sambil menyalakan kembali tembakaunya.

by : Aditya Nugraha 

Friday, April 6, 2012

TERIMAKASIH UNTUK SEGALANYA

“Noor, sudah waktunya pulang. biar aku gantikan jaga malam hari ini” Joko membangunkan ku dari tidur pulas malam itu. tak kusangka waktu terlewat begitu saja.
            “oh, Jok! maaf aku tertidur. tidak ada sesuatu yang gawatkan sewaktu aku tertidur?” tanyaku pada Joko yang sedang menggantungkan jaket tebal berbulunya di dinding pos jaga.
            “nggak ada tuh. tenang  saja. ah... kau kurang sehat, Noor? wajahmu pucat sekali”
            “begitukah? memang sejak pagi aku menggigil kedinginan, rasanya aku baru bangun dari kutub Utara”
            “lah, seperti kau sudah pernah saja ke kutub Utara. sudah pulang saja, kasiankan istrimu. wong baru seminggu nikah kok udah ditinggal-tinggal lembur. gak baik tau!”
            Aku hanya tersenyum mendengar ledekan temanku yang satu ini dari kantor Polres tempatku mengabdi. yah, memang tak bisa disangkal. Aku dengan Wiwid baru saja menikah seminggu yang lalu. Dia wanita yang baik, ramah, sopan dan ayu. Meski hanya berta’aruf dengannya selama 5 jam. Wiwid merasa cocok dengan pribadi ini, begitu pula sebaliknya. ‘Wid, mau makan apa malam ini?’ tanyaku pada diri sendiri, ‘terserah, mas Noor. Wiwid kemana aja mau.’ ahhhh…Wiwid-Wiwid, membayangkan tawamu saja sudah membuat aku gregetan.
            Kebetulan, ada pasar malam. Aku bisa membeli sesuatu untuk Wiwid tercinta. katanya sih Wiwid suka sekali dengan boneka beruang, hingga waktu aku lihat dirumahnya banyak sekali pernak pernik beruang dimana-mana.
---keliling pasar malem---
            Akhirnya sampai dengan selamat di rumah. pagar sudah tertutup. aku tak mau membangunkan Wiwid. Dengan mematikan suara motor, aku mengendap-endap membuka pagar rumah sendiri. ‘Wiwid sayang… bangun dong’ bayangku dalam benak esok pagi, atau lebih tepatnya nanti. ‘ah… lucu.. makasih ya mas. Wiwid suka boneka beruangnya’ sembari membayangkan senyum Wiwid dipagi hari yang mengalahkan indah fajar menyingsing.
            Setelah memasukkan motor ke garasi dengan kunci cadangan yang selalu kutaruh dibawah pot bunga mawar. Aku meraba saku celana dimana kunci pintu rumah tersimpan. Lantas kutaruh sejenak  boneka berunga itu dilantai. namun, setelah memasukan kunci ke pintu, sentak aku terkaget karena pintu tak terkunci. Wiwid pasti lupa mengunci, atau… aku mengendap masuk, perlahan. meski tak ingung kubayangkan apa yang mungkin terjadi ku pegang pentungan yang sejak awal tergantung dicelanaku dengan erat. Semua ruangan gelap, kecuali kamarku. langkah pendek dan pelan aku mendekati pintu yang sedikit terbuka. Dan betapa air mataku mengalir mendengar desahan halus dari mulut Wiwid, juga suara goncangan ranjang kayu yang baru kami pesan berdecit. Emosiku tak tertahan. Ku tendang pintu kamar sekencang-kencangnya.
            “Wiwid!” teriakku pada dua orang yang sedang melakukan hubungan hinadi rumah orang. “bajingan, kau!” kupukul laki-laki itu hingga tersungkur dari ranjang dengan pentungan yang kupegang.
            “jangan, mas!” Wiwid sentak terkaget dan berteriak memelas.
            “istri durhaka!” kuseret Wiwid masuk kekamar mandi dengan keadaan telanjang bulat, dan ku kunci dia dari luar.
            laki-laki itu mulai sadarkan diri, dia berusaha lari dengan telanjang keluar rumah sambil merangkul pakaiannya. namun, dengan sigap aku keluar mengejarnya. melempar tongkat pemukul yang tepat mengenai kepalanya yang hendak memanjat pagar rumah.
            “jangan lari kau!!” kupukul wajahnya berkali-kali yang tergeletak di tanah. hingga wajahnya berlumuran darah, memar di pipi, dan beberapa gigi yang tanggal. Karena emosi memuncak yang membuat ku membabi buta, sekilas terlihatboneka beruang yang aku beli tergeletak di depan pintu. Seakan dia menatap dan berbicara, ‘hentikan mas! darahnya tidak akan mengembalikan apa yang telah terjadi.’. air mataku mengalir tak henti bersama isak tangis yang mengiringi. Aku melemaskan kepalanku.
            “ikut aku! masuk! dan jangan berharap kau bisa lari lagi!” ajak ku kepada lelaki itu. dan ia pun menuruti perintahku tanpa banyak bicara.
            Didalam rumah, kusuruh ia memakai pakaiannya. Dan sesekali mendekatkan telinga ke pintu kamar mandi tempat Wiwid ku kurung. Ia tak bersuara, entah lelah atau pingsan karena shock. hening.
            “nih, alcohol. obati lukamu! ini lapnya.” ku sodorkan alcohol beserta lap tangan yang biasa kugunakan saat P3K. Dia hanya bengong. Melihatku yang tadi sempat marah kini terlihat begitu tenang.
            “kenapa kau bengong?! cepat obati lukamu!” suruhku padanya yang lantas tersentak kemudian mengobati lukanya sendiri.
            Aku mengeluarkan seluruh barang dari saku baju. Korek, rokok, permen dan beberapa uang receh. Ku ambil satu batang kretek, kunyalakan.
            “sudah berapa lama kamu kenal Wiwid?” tanyaku membuka pembicaraan di ruang tamu.
            sejenak dia terdiam, lantas mulai bicara,
            “sejak SMP.” jawab dia menundukan kepala.
            “kenal lama?”
            “kami pacaran sampai Wiwid lulus SMA.”
            “punya kerja?”
            “belum”
“jadi sampai aku dijodohkan dengan Wiwid pun kalian masih pacaran?”
            Dia terdiam cukup lama, dan aku faham betul dengan jawaban klasik seperti ini.
            “hmmm… kau mencintainya?” tanyaku pada lelaki ini.
            Dia terdiam lagi,
            Aku lantas pergi ke kamarku, mengambil Koper besar dan mulai berkemas membereskan pakian dan beberapa barang. Lelaki itu semakin bengong. dan kulihat foto pernikahan kami dimeja rias Wiwid,
            “oh, ya. siapa namamu?”
            “saya? saya  Prasetyo” jawabnya gugup
            “Pras! tolong kau bakar foto ini. dan beberapa foto yang terpasang di dinding.” amanatku padanya sambil membawa koper itu keluar rumah. Lelaki itu memanggilku yang hendak keluar.
            “mas, mau kemana?”
            “pergi, entah tujuanku mau kemana. itu bukan urusanmu.”
            “lantas……” kupotong perkataannya,
            “kalau kau memang mencintainya. jagalah dia, cintai Wiwid. kalian cocok kok. dan jangan sampai aku mendengar kamu menyakiti hati Wiwid. camkan!”pesanku padanya sebelum pergi.
            Lelaki itu terpaku dan menangis. aku lantas pergi melewaati pintu rumah yang baru 3 hari ini aku tinggali. Dan setelah melihat ke pintu rumah, boneka beruang itu masih tergeletak disana. aku melepaskan tas koper dan memeluk boneka beruang itu dengan erat, Lalu membawanya masuk kedalam.
            “satu lagi pesan dariku Pras. berikan boneka ini pada Wiwid. bilang padanya aku tidak marah. dan sampaikan bahwa aku bahagia jika Wiwid bahagia” lantas menyerahkan boneka itu kepada Pras yang semakin ter isak dalam tangisnya. “yo, aku pergi Pras. jaga Wiwid baik-baik.” aku memunggunginya sambil melambaikan tangan meneteskan air mata yang entah keberapa kalinya. ‘selamat tinggal Wid. aku bahagia kok, melihatmu bahagia meski bersama orang lain’
---beberapa hari kemudian---
            Hari ini aku duduk di perempatan jalan, tempat aku sering berjaga memperhatikan lalu lintas. dengan rokok murahan yang kulinting sendiri sambil menikmati asap knalpot yang berhembus kesana kemari.
            “Noor, rokok?” Joko menwarkan sebatang rokok kretek padaku.
            “ndak usah, udah ada kok.”
            Semenjak hari itu, Paginya aku mengundurkan diri dari kapolres dengan alasan memukul warga sipil tanpa sebab karena mabuk. Dan taka da yang tahu kejadian malam itu. Tepat beberapa menit setelah lampu berubah menjadi merah, kulihat Wiwid menaiki sebuah motor bersama Pras. mereka terlihat mesra sekali.
            “lho? Noor, kamu kok nangis? udah gak usah terlalu dipikirkan masalah pemecatanmu”
            “ndak kok. bukan itu. mataku kelilipan”
            “oh, iya.. gimana kabar Wiwid? sehat?”
            “baik. dia baik-baik saja”
            Dan lampu merah itu pun sudah berubah menjadi warna hijau kembali.

karya : Azay

Friday, March 23, 2012

CerPen : DIA YANG KUHIRUP



DIA YANG KUHIRUP

Dia terduduk kaku, disebrang rel kereta yang membeku didingin hujan yang menderu. Tatapan sayu dan senyumnya tersipu malu. Aku pun mendekatinya tanpa ragu, dengan wajahnya yang lugu ia terus tersenyum menatapku. Entah menatap atau sekedar rasa, walau pelan ia tertawa dan entah sadar atau setengah gila tapi dapat kupastikan kalau perempuan ini buta. aku terkejut ketika ia mulai meraba tanganku dan bertanya,
“jam berapa, ya?”. Lalu ku ucap,
“jam 4 sore.”. dia tertawa pelan kembali, lalu berkata,
“sekitar 2 jam 40 menit 13 detik yang lalu, kernet itu berkata ‘bahwa ini jam 2 siang’, lalu anda berkata jam 4 sore? Waktu berlalu begitu cepat.”.
Sebenarnya siapa perempuan ini? Dia cantik, namun kecantikannya tertutup oleh kemisteriusannya.
“maaf jika saya menggangu tuan”, aku pun seraya menjawab,
“tak apa, tak usah nona pikirkan. Tetapi jika saya boleh tahu nona ini sedang menunggu siapa? Sendiri di tempat seperti ini apa nona tidak takut?”. Nona itu tersenyum dan berkata,
“tepatnya, apa. Bukan siapa. Saya sedang menuggu angin yang akan berhembus dari Barat ke Utara.” Rasa penasaran ku semakin tinggi, aku tertarik pada nona ini.
            Tak lama kemudian setelah kami berbincang, datang sebuah kereta melaju dengan kencang. Dari arah Barat, menghembuskan angin kearah kami yang kebetulan berada di arah Utara. Perempuan itu berdiri lantas berkata,
“anginku sudah datang”.
“kalau begitu mari saya antarkan nona keperonnya.” Aku menawarkan jasa.
“tak usah, tuan. Saya bisa sendiri.” perempuan itu tersenyum malu.
“tidak apa, kebetulan kita searah dan sekereta.”.
“maaf merepotkan tuan.”.
            Didalam kereta, kami berbincang layaknya seorang teman yang baru saja bertemu dan saling melepas kerinduan. Kami duduk bersebelahan, semakin kami berbincang semakin kami nyaman satu sama lain. Namun entah mengapa, perempuan ini selalu menatap kearah jendela, padahal ia tak bisa menatap apa yang ada didepannya. Begitu tenang ia di tiup angin  kencang. Dan, begitu inginkah ia melihat apa yang ia ingin lihat? Lantas aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya,
“nona menga….”,
Nona ini mulai terlelap, ia menyandarkan kepalanya ke bahuku yang layu terbujuk rayu. Dan dengan urungan niatku, perlahan tapi pasti ku sandarkan kepalaku keatas kepalanya. Kami seperti sepasang kekasih.

            Kuda besi ini mulai berhenti. Beberapa menit mulai kusadari, bahwa nona itu sudah pergi. Aku terperanjat berlari keluar dan terus mencari. Kemana nona itu pergi? Dari setiap langkah kutuju tempat tempat yang kukira ia berada, ku telusuri setiap sudut sudut berujung hampa. Namun, sayang. Nona itu pergi entah kemana.
            Stasiun itu mulai sepi, aku terduduk kembali. Dan tentunya tetap sendiri. Dan dengan rasa lelah yang meliputi, menyucurkan peluh ini, kulihat siluet sesorang yang kucari. Aku berlari menghampiri.
“nona, tunggu.”. nona itu menoleh dan berkata,
“tuan? apa itu kau?”.
“Ya ini aku.”.
“ada apa tuan? Maafkan sikapku ketika di kereta tadi.”.
“tak usah kau pikirkan, nona. Tetapi, saya hanya ingin bertanya, setelah kita lama berbincang saya belum tahu siapa nama nona?”. Nona itu tertawa kecil,
“karena itukah tuan mencari saya kesana kemari? Menyusuri lorong lorong sepi hanya untuk menemui saya yang hampa ini?”, Nona ini tersenyum manis lantas berkata,”orang orang member saya nama Udara.” Lalu berjalan kecil.
Udara? Aku ingin menghampiri namun tubuh ini terasa beban berat sekali. Teriakku bertanya,
”nona, dimanakah aku bisa bertemu lagi denganmu?”. Nona itu tetap berlalu dan berkata,
”rasakan kehadiranku saat kau bernafas, yakinlah bahwa udara yang kau hirup adalah separuh jiwaku. Maka sebenarnya aku ada disampingmu. Mengiringi setiap langkahmu. Dan dengan kehendak-Nya, kita pasti dipertemukan kembali.”
 Dengan hilangnya dia dari pandanganku, tertutup kabut tebal dimalam hari. Aku menghirup udara, lalu masuk ke diafragma, terjebak di paru paru, lalu melantunkan Tasbih putih demi keindahan yang telah Sang Rabb ciptakan dan tunjukan. Kusujudkan diri dalam malam sepi, semakin dalam. Dalam. Dalam sekali, sampai kuteteskan air mata ini.

Tasikmalaya, 21-11-2011
Azay Vangogh Braham Lincoln
(terinspirasi dari beberapa lagu popular yang belum bisa disebutkan karena lupa namanya dan beberapa puisi kondang)

Hal yang saya takuti :

1. Kecoa (karena troma pernah di kencingin)
2. Rumah angker atau rumah hantu sama aja
3. Banci
4. Orang berotot (kalau ditonjok berabe dong)
5. Listrik (sering kesetrum)