“Noor, sudah waktunya pulang. biar aku gantikan jaga malam hari ini”
Joko membangunkan ku dari tidur pulas malam itu. tak kusangka waktu
terlewat begitu saja.
“oh, Jok! maaf aku tertidur. tidak ada sesuatu yang
gawatkan sewaktu aku tertidur?” tanyaku pada Joko yang sedang
menggantungkan jaket tebal berbulunya di dinding pos jaga.
“nggak ada tuh. tenang saja. ah... kau kurang sehat, Noor? wajahmu pucat sekali”
“begitukah? memang sejak pagi aku menggigil kedinginan, rasanya aku baru bangun dari kutub Utara”
“lah, seperti kau sudah pernah saja ke kutub Utara. sudah pulang saja, kasiankan istrimu.
wong baru seminggu nikah kok udah ditinggal-tinggal lembur. gak baik tau!”
Aku hanya tersenyum mendengar ledekan temanku yang satu
ini dari kantor Polres tempatku mengabdi. yah, memang tak bisa
disangkal. Aku dengan Wiwid baru saja menikah seminggu yang lalu. Dia
wanita yang baik, ramah, sopan dan ayu. Meski hanya berta’aruf dengannya
selama 5 jam. Wiwid merasa cocok dengan pribadi ini, begitu pula
sebaliknya. ‘Wid, mau makan apa malam ini?’ tanyaku pada diri sendiri,
‘terserah, mas Noor. Wiwid kemana aja mau.’ ahhhh…Wiwid-Wiwid,
membayangkan tawamu saja sudah membuat aku gregetan.
Kebetulan, ada pasar malam. Aku bisa membeli sesuatu
untuk Wiwid tercinta. katanya sih Wiwid suka sekali dengan boneka
beruang, hingga waktu aku lihat dirumahnya banyak sekali pernak pernik
beruang dimana-mana.
---keliling pasar malem---
Akhirnya sampai dengan selamat di rumah. pagar sudah
tertutup. aku tak mau membangunkan Wiwid. Dengan mematikan suara motor,
aku mengendap-endap membuka pagar rumah sendiri. ‘Wiwid sayang… bangun
dong’ bayangku dalam benak esok pagi, atau lebih tepatnya nanti. ‘ah…
lucu.. makasih ya mas. Wiwid suka boneka beruangnya’ sembari
membayangkan senyum Wiwid dipagi hari yang mengalahkan indah fajar
menyingsing.
Setelah memasukkan motor ke garasi dengan kunci cadangan
yang selalu kutaruh dibawah pot bunga mawar. Aku meraba saku celana
dimana kunci pintu rumah tersimpan. Lantas kutaruh sejenak boneka
berunga itu dilantai. namun, setelah memasukan kunci ke pintu, sentak
aku terkaget karena pintu tak terkunci. Wiwid pasti lupa mengunci, atau…
aku mengendap masuk, perlahan. meski tak ingung kubayangkan apa yang
mungkin terjadi ku pegang pentungan yang sejak awal tergantung
dicelanaku dengan erat. Semua ruangan gelap, kecuali kamarku. langkah
pendek dan pelan aku mendekati pintu yang sedikit terbuka. Dan betapa
air mataku mengalir mendengar desahan halus dari mulut Wiwid, juga suara
goncangan ranjang kayu yang baru kami pesan berdecit. Emosiku tak
tertahan. Ku tendang pintu kamar sekencang-kencangnya.
“Wiwid!” teriakku pada dua orang yang sedang melakukan
hubungan hinadi rumah orang. “bajingan, kau!” kupukul laki-laki itu
hingga tersungkur dari ranjang dengan pentungan yang kupegang.
“jangan, mas!” Wiwid sentak terkaget dan berteriak memelas.
“istri durhaka!” kuseret Wiwid masuk kekamar mandi dengan keadaan telanjang bulat, dan ku kunci dia dari luar.
laki-laki itu mulai sadarkan diri, dia berusaha lari
dengan telanjang keluar rumah sambil merangkul pakaiannya. namun, dengan
sigap aku keluar mengejarnya. melempar tongkat pemukul yang tepat
mengenai kepalanya yang hendak memanjat pagar rumah.
“jangan lari kau!!” kupukul wajahnya berkali-kali yang
tergeletak di tanah. hingga wajahnya berlumuran darah, memar di pipi,
dan beberapa gigi yang tanggal. Karena emosi memuncak yang membuat ku
membabi buta, sekilas terlihatboneka beruang yang aku beli tergeletak di
depan pintu. Seakan dia menatap dan berbicara, ‘hentikan mas! darahnya
tidak akan mengembalikan apa yang telah terjadi.’. air mataku mengalir
tak henti bersama isak tangis yang mengiringi. Aku melemaskan kepalanku.
“ikut aku! masuk! dan jangan berharap kau bisa lari
lagi!” ajak ku kepada lelaki itu. dan ia pun menuruti perintahku tanpa
banyak bicara.
Didalam rumah, kusuruh ia memakai pakaiannya. Dan
sesekali mendekatkan telinga ke pintu kamar mandi tempat Wiwid ku
kurung. Ia tak bersuara, entah lelah atau pingsan karena shock. hening.
“nih, alcohol. obati lukamu! ini lapnya.” ku sodorkan
alcohol beserta lap tangan yang biasa kugunakan saat P3K. Dia hanya
bengong. Melihatku yang tadi sempat marah kini terlihat begitu tenang.
“kenapa kau bengong?! cepat obati lukamu!” suruhku padanya yang lantas tersentak kemudian mengobati lukanya sendiri.
Aku mengeluarkan seluruh barang dari saku baju. Korek,
rokok, permen dan beberapa uang receh. Ku ambil satu batang kretek,
kunyalakan.
“sudah berapa lama kamu kenal Wiwid?” tanyaku membuka pembicaraan di ruang tamu.
sejenak dia terdiam, lantas mulai bicara,
“sejak SMP.” jawab dia menundukan kepala.
“kenal lama?”
“kami pacaran sampai Wiwid lulus SMA.”
“punya kerja?”
“belum”
“jadi sampai aku dijodohkan dengan Wiwid pun kalian masih pacaran?”
Dia terdiam cukup lama, dan aku faham betul dengan jawaban klasik seperti ini.
“hmmm… kau mencintainya?” tanyaku pada lelaki ini.
Dia terdiam lagi,
Aku lantas pergi ke kamarku, mengambil Koper besar dan
mulai berkemas membereskan pakian dan beberapa barang. Lelaki itu
semakin bengong. dan kulihat foto pernikahan kami dimeja rias Wiwid,
“oh, ya. siapa namamu?”
“saya? saya Prasetyo” jawabnya gugup
“Pras! tolong kau bakar foto ini. dan beberapa foto yang
terpasang di dinding.” amanatku padanya sambil membawa koper itu keluar
rumah. Lelaki itu memanggilku yang hendak keluar.
“mas, mau kemana?”
“pergi, entah tujuanku mau kemana. itu bukan urusanmu.”
“lantas……” kupotong perkataannya,
“kalau kau memang mencintainya. jagalah dia, cintai
Wiwid. kalian cocok kok. dan jangan sampai aku mendengar kamu menyakiti
hati Wiwid. camkan!”pesanku padanya sebelum pergi.
Lelaki itu terpaku dan menangis. aku lantas pergi
melewaati pintu rumah yang baru 3 hari ini aku tinggali. Dan setelah
melihat ke pintu rumah, boneka beruang itu masih tergeletak disana. aku
melepaskan tas koper dan memeluk boneka beruang itu dengan erat, Lalu
membawanya masuk kedalam.
“satu lagi pesan dariku Pras. berikan boneka ini pada
Wiwid. bilang padanya aku tidak marah. dan sampaikan bahwa aku bahagia
jika Wiwid bahagia” lantas menyerahkan boneka itu kepada Pras yang
semakin ter isak dalam tangisnya. “yo, aku pergi Pras. jaga Wiwid
baik-baik.” aku memunggunginya sambil melambaikan tangan meneteskan air
mata yang entah keberapa kalinya. ‘selamat tinggal Wid. aku bahagia kok,
melihatmu bahagia meski bersama orang lain’
---beberapa hari kemudian---
Hari ini aku duduk di perempatan jalan, tempat aku sering
berjaga memperhatikan lalu lintas. dengan rokok murahan yang kulinting
sendiri sambil menikmati asap knalpot yang berhembus kesana kemari.
“Noor, rokok?” Joko menwarkan sebatang rokok kretek padaku.
“
ndak usah, udah ada kok.”
Semenjak hari itu, Paginya aku mengundurkan diri dari
kapolres dengan alasan memukul warga sipil tanpa sebab karena mabuk. Dan
taka da yang tahu kejadian malam itu. Tepat beberapa menit setelah
lampu berubah menjadi merah, kulihat Wiwid menaiki sebuah motor bersama
Pras. mereka terlihat mesra sekali.
“lho? Noor, kamu kok nangis? udah gak usah terlalu dipikirkan masalah pemecatanmu”
“
ndak kok. bukan itu. mataku kelilipan”
“oh, iya.. gimana kabar Wiwid? sehat?”
“baik. dia baik-baik saja”
Dan lampu merah itu pun sudah berubah menjadi warna hijau kembali.
karya : Azay